Masih takut apabila tunjangan Sertifikasi akan dicabut apabila Nilai UKG dibawah rata-rata yang ditetapkan oleh Pemerintah?. Saat ini jutaan Guru yang telah memiliki tunjangan sertifikasi sedang was-was dihadapkan dengan pernyataan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI yang akan menjadikan hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) sebagai dasar penentuan Tunjangan Profesi Guru. 
      Seperti yang terjadi di beberapa daerah, sekitar ratusan guru dan perwakilan PGRI se-Jawa Timur melakukan penolakan kebijakan tersebut, dikarenakan pelatihan peningkatan kompetensi guru yang diselenggarakan oleh pemerintah sebelum dilakukan UKG belum merata. Ketua PGRI Jatim Ichwan Sumadi mengatakan ”Apabila pemerintah mematok target tertentu dalam UKG, serta menghubungkannya dengan TPP, pemerintah harus sepadan. Pelatihan harus diberikan secara merata. Kalau sudah begitu, baru aturan-aturan bisa ditetapkan. Tapi kan kenyataannya ini belum,”. 
     Tapi kini Para guru dapat bernafas dengan lega karena Pihak Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI melalui Direktur Jendral Guru dan Tenaga Kependidikan Sumarna Surapranata, P.hD mengatakan bahwa " UKG ini dilakukan pemerintah untuk memetakan Kompetensi para Guru, tidak untuk yang lain. Apabila dari hasil UKG ada guru yang dirasa kurang kompeten tidak akan diberi sanksi apapun, bagi yang bersangkutan akan diberi pelatihan kompetensi yang belum dikuasainya,". 
      Jadi kini para guru tidak perlu takut dan cemas dengan hasil UKG yang akan dilaksanakan serentak seluruh Indonesia pada tanggal 9-27 Nopember 2015, karena UKG bukan tolak ukur bagi pemerintah dalam mendapatkan Tunjangan Profesi Guru, tetapi jadikanlah UKG ini sebagai media para guru untuk melihat kedalam diri seberapa pantas kita menjadi seorang guru apakah kita sudah baik menjadi guru? ataukah kita memerlukan beberapa perbaikan dalam memberikan layanan pendidikan terbaik bagi para penerus bangsa ini.

        Setelah Kabupaten Bandung yang sudah mendeklarasikan diri sebagai kabupaten yang mengimplementasikan Pendidikan Inklusif pada tahun 2014 silam, kini giliran Kota Bandung yang memploklamirkan diri sebagai " Bandung Kota Pendidikan Inklusif" pada hari Senin tanggal 26 Oktober 2015 di Aula Santo Aloysius, jalan Batununggal Indah II no 30, Komplek Batununggal Bandung.
       Dalam kesempatan itu Kang Emil, sapaan dari Ridwan Kamil walikota Bandung mengungkapkan bahwa "Jangan sampai perbedaan keunikan didiskriminasi oleh pendidikan yang tidak memungkinkan. Nah itu lah tekad kita. Dimulai tahun ini sudah saya wajibkan semuanya sekolah di Bandung tidak boleh tidak menerima siapapun khususnya mereka yang berkebutuhan khusus,".
              Kini semua sekolah di kota Bandung wajib menerima siswa yang berkebutuhan khusus tanpa terkecuali karena semua anak di kota bandung memiliki hak yang sama dalam mendapatkan layanan pendidikan yang mereka ingikan tanpa ada perlakuan yang diskriminatif kepadanya.
Namun disisi lain Kang Emil juga berharap kepada semua guru untuk lebih bersemangat dalam mengajar para siswa dan siswi terutama yang memiliki kebutuhan khusus, agar mereka dapat menjadi masyarakat cerdas dan Mandiri.    


      Inklusi merupakan perubahan praktis yang memberi peluang anak dengan latar belakang dan kemampuan yang berbeda bisa berhasil dalam belajar. Perubahan ini tidak hanya menguntungkan anak yang sering tersisihkan, seperti anak berkebutuhan khusus, tetapi semua anak dan orangtuanya, semua guru dan administrator sekolah, dan setiap anggota masyarakat.
‘Inklusi’ berarti bahwa sebagai guru bertanggung jawab untuk mengupayakan bantuan dalam menjaring dan memberikan layanan pendidikan pada semua anak yang ada di masyarakat, keluarga, lembaga pendidikan, layanan kesehatan, pemimpin masyarakat, dan lain-lain.

      Selama ini, istilah ‘inklusi’ diartikan dengan mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus di kelas umum dengan anak-anak lainnya. Dalam panduan ini, ‘inklusi’ mempunyai arti yang lebih luas. ‘Inklusi’ berarti mengikutsertakan anak berkelainan seperti anak yang memiliki kesulitan melihat, mendengar, tidak dapat berjalan, lamban dalam belajar. Secara luas ‘inklusi’ juga berarti melibatkan seluruh peserta didik tanpa terkecuali, seperti:

  • Anak yang menggunakan bahasa ibu, dan bahasa minoritas yang berbeda dengan bahasa pengantar yang digunakan di dalam kelas;
  • Anak yang berisiko putus sekolah karena korban bencana, konflik, bermasalah dalam sosial ekonomi, daerah terpencil, atau tidak berprestasi dengan baik;
  • Anak yang berasal dari golongan agama atau kasta yang berbeda;
  • Anak yang sedang hamil;
  • Anak yang berisiko putus sekolah karena kesehatan tubuh yang rentan/penyakit kronis seperti asma, kelainan jantung bawaan, alergi, terinfeksi HIV dan AIDS;
  • Anak yang berusia sekolah tetapi tidak sekolah
       Di beberapa tempat, semua anak mungkin masuk sekolah, tetapi masih terdapat beberapa anak yang terpisahkan dari keikutsertaan dalam pembelajaran di kelas, misalnya:
  • Anak yang menggunakan bahasa ibu yang berbeda dengan buku-buku pelajaran dan bacaan yang digunakan;
  • Anak yang tidak pernah diberi kesempatan untuk aktif dalam kelas;
  • Anak yang memiliki masalah gangguan penglihatan dan atau pendengaran; atau;
  • Anak yang tidak pernah mendapatkan bantuan ketika mengalami hambatan belajar.
       Untuk semua kondisi di atas, maka guru diharapkan bertanggung jawab untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif agar seluruh anak terlibat dalam proses pembelajaran.

      Pemahaman pendidikan Khusus saat ini terus berkembang menuju arah yang lebih baik yang berlandaskan pada hak-hak dasar anak untuk memperoleh layanan pendidikan yang baik. Konsep Anak Berkebutuhan Khusus memiliki makna yang luas dibandingkan dengan Anak Luar Biasa, anak berkebutuhan khusus adalah anak yang secara pendidikan memerlukan layanan kompensatoris yang disesuaikan dengan hambatan yang dimilikinya baik hambatan dalam belajar maupun hambatan dalam perkembanganya.
      Secara umum tujuan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus adalah untuk mengoptimalkan segala potensi yang dimiliki oleh individu sehingga mampu menjalani hidup dengan kecakapan dan kemandirian hidup yang dimilikinya. Anak tunagrahita adalah individu yang memiliki kemampuan intelektuan di bawah rata-rata dengan disertai hambatan dalam penyesuaian perilaku yang terjadi selama masa perkembanganya. Hambatan Perilaku ini dapat dilihat dari dua area sebagai berikut :
  • Keterampilan Menolong diri (Personal Living Skill)
  • Keterampilan dalam hubungan interpersonal dan keterampilan dalam menggunakan fasilitas yang diperlukan setiap hari (Social Living Skill)
     Program Pengembangan Diri merupakan hal yang sangat penting untuk anak tunagrahita dalam melakukan pengembangan dirinya sendiri yang meliputi : Merawat diri, mengurus diri, menolong diri, komunikasi, bersosialisasi, keterampilan hidup dan mengisi waktu luang dilingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.
      Program Pengembangan Diri diarahkan untuk mengembangkan kemampuan anak tunagrahita dalam melakukan aktifitas yang berhubungan dengan kehidupan dirinya sendiri sehingga mereka tidak tergantung dan membebani orang lain.
      Dalam pelaksanaan program pengembangan diri perlu adanya standar kemampuan untuk dapat mencapai kemampuan minimal yang menggambarkan keterampilan yang dicapai, hal ini sebagai dasar untuk mengetahui peningkatan dan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari anak tunagrahita.


PEMECAHAN REKOR MURI



Foto penyerahan Piagam Pemecahan Rekor MURI dari Perwakilan Museum rekor Indonesia yang diwakili oleh  Bapak Awan Rahargo Kepada Pelaksana Kegiatan yang diwakili Oleh Ibu Elly Srimelinda
Foto Bapak Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa barat, Setda Provinsi Jawa Barat dan Direktur Pembinaan PKPLK Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI saat akan melakukan Gerakan Senam ceria ABK bersama peserta lainya
Foto Piagam Penghargaan MURI




Foto Keceriaan peserta Saat kegiatan Senam Berlangsung




          Pemecahan Rekor Muri yang dilakukan oleh Siswa Anak Berkebutuhan Khusus se Jawa Barat pada hari Sabtu tanggal 31 Oktober 2015 lalu tidak Lepas dari Gerakan senam Ceria ABK.
         Senam Ceria ABK merupakan gerakan Senam yang diciptakan oleh Hipni Mubarok, S.Pd seorang Guru SLB Negeri Garut sebagai bentuk peran aktif guru terhadap kemajuan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus di Nasional terutama di Provinsi Jawa barat.
          Berikut Video gerakan Senam Ceria ABK Jawa Barat.






Setelah menjadi salah satu bagian kegiatan  “Harmony of Angklung for The World” dalam rangkaian peringatan 60 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA) pada tanggal 23 April 2015 lalu. Pada hari Sabtu Pagi sekitar 13.259 siswa Abk guru dan orang tua siswa berkumpul dengan mengenakan pakaian olahraga di Monumen Perjuangan Bandung jalan Dipati Ukur Kota Bandung.

Para siswa-siswi SLB dari kabupaten/kota se-Jawa Barat tersebut tampak bersemangat melakukan Senam Ceria ABK yang diiringi musik bernada riang gembira untuk memecahkan Rekor MURI. Rekor tersebut sebagai persembahan Anak-anak Berkebutuhan Khusus (ABK) untuk Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk Jabar Kahiji.

“Disaksikan ribuan pasang mata, anak-anak bekebutuhan khusus telah melaksanakan kegiatan senam ceria ABK. Museum Rekor Dunia Indonesia telah verifikasi sebanyak 13.259 anak-anak berkebutuhan khusus ikut ambil bagian dalam kegiatan ini,” kata Awan Rahargo, pada saat memberikan sambutan dihadapan para peserta semuanya.

Oleh karena itu, lanjut Awan, MURI dengan bangga dan hormat mengapresiasi kegiatan tersebut dengan memberikan Sertifikat Penghargaan MURI tercatat dengan Nomor Rekor 7.163/R.MURI/X/2015 atas Rekor Senam oleh Siswa SLB Terbanyak.

Kegiatan pemecahan rekor MURI oleh para siswa-siswi SLB dari kabupaten/kota se-Jawa Barat tersebut, dihadiri oleh Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Barat, H. Iwa Karniwa, Assisten Kesejahteraan Rakyat Setda Provinsi Jawa Barat, Ahmad Hadadi, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, Asep Hilman, Direktur Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus Ditjen Pendidikan dan Dasar dan Menengah  Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Srirenani Pancastuti dan para pejabat lainnya.