Pendidikan kebutuhan khusus adalah layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus baik yang bersifat permanen maupun yang temporer, dan sangat fokus pada hambatan belajar dan kebutuhan anak secara individual (Miriam, 2001). Pendidikan kebutuhan khusus memandang anak sebagai individu yang khas dan utuh, keragaman dan perbedaan individu sangat dihormati. Dilihat dari caranya memandang eksistensi seorang anak, pendidikan kebutuhan khusus (special needs education) berbeda dengan jelas dari pendidikan khusus (special education). Dalam pendidikan khusus (special education), yang menjadi fokus perhatian tertuju kepada kecacatan anak (disability). Sedangkan pendidikan kebutuhan khusus (special needs education) fokus kepada hambatan belajar dan kebutuhan anak. Ruang lingkup garapan disiplin ilmu pendidikan kebutuhan khusus meliputi tiga hal yaitu: Pertama, mencegah timbulnya hambatan belajar dan hamabatan perkembangan pada setiap anak. Kedua mengkompensasikan hambatan yang dimiliki anak dan Ketiga, menangani hambatan (intervensi).
  • Mencegah Timbulnya Hambatan.
Timbulnya hambatan belajar dan hambatan perkembangan baik yang bersifat temporer maupun yang bersifat permanen bisa terjadi karena fakator internal anak itu sendiri atau bisa juga karena faktor ekternal. Fungsi pendidikan kebutuhan khusus adalah mencegah munculya hambatan-hambatan belajar dan hambatan perkembangan, atau sekurang-kurangnya dapat meminilakan hamabatan itu, sehingga anak dapat berkembang optimal.
Apabila dalam kenyataanya hamabatan itu tidak dapat dihindari, maka upaya yang harus dilakukan adalah memperkecil dampak sosial-psikologis dari hambatan itu, sehingga anak tetap dapat berparisipasi dalam kehidupan masyarakat dan hidup berkualitas. Dengan kata lain individu menjadi terbisa dan bersahabat dengan hambatan dan masalah yang dimilikinya, tetapi tetap dapat berkembang opatimal. Dalam istilah lain disebut dengan coping. Sebagai contoh, seorang yang mempunyai hambatan karena tidak bisa melihat (tunanetra). Pendidikan harus dapat mencegah agar tidak muncul komplikasi sebagai dampak dari ketunanetraan, seperti misalnya putus asa, rendah diri, sukar berkomuniksi dsb. Jika dampak itu bisa dicegah maka kemungkinan orang tersebut dapat berkembang optimal meskipun ia tidak bisa melihat.
  • Mengkompensasikan Hambatan
Apabila individu mengalami hambatan, terutama yang bersifat permanen, seperti misalnya anak tidak bisa melihat (tunananetra), tidak bisa mendengar (tunarungu), tidak bisa menulis karena cerebral palsy, kesulitan membaca karena dysleksia dst, maka harus dicarikan upaya konpensasi dari hamabatan yang dialami. Sebagai contoh, individu yang tidak bisa melihat (tunanetra), tidak mungkin bisa membaca tulisan, dan akan mengalami kesulitan untuk bepergian. Konpensasi dari kesuitan itu adalah tulisan braille agar tunanetra dapat membaca dan orientasi-mobilitas agar dapat bepergian. Individu yang tunarungu mengalami kesulitan dalam berkomunikasi secara lisan, konpensasinya adalah bahasa isyarat atau komunikasi total. Individu yang tidak dapat menulis akibat kesulitan gerak, konpensasinya adalah anak tidak ditutut untuk ikut ujian tertulis tetapi dapat dilakukan dengan lisan. Individu yang tidak bisa berbicara bukan karena tunarungu, konpensainya adalah komunikasi alternatif dan augmentatif. Di dalam bidang pendidikan kebutuhan khusus, agar anak dapat mengatasi hamabatan-hamabatan itu, ajarkan apa yang disebut dengan keterampilan konpensatoris (compensatory skills).
  •   Menangani Hambatan (Intervensi)
Intervensi adalah upaya memberikan layanan kepada anak berkebutuhan khusus, agar dapat berkembang optimal. Dalam melakukan program intervesi, perlu diketahui hambatan belajar dan kebutuhan anak secara individual, karena pendidikan kebutuhan khusus fokus kepada individu anak. Setiap anak memiliki hambatan belajar dan kebutuhan layanan pendidikan yang berbeda-beda. Untuk mendapatkan data tentang hambatan belajar dan kebutuhan akan layanan pendidikan, dilakukan dengan asesmen. Melalui asesmen dapat diketahu secara spesifik dan kongkret tentang hambatan yang dialami, keterampilan yang sudah dimiliki (perkembangan saat ini) dan kebutuhan akan layanan pendidikan. Berdasarkan data hasil asesmen itulah dapat dikembangkan progran intervesni, yang didlamnya mencakup antara lain tujuan, pendektan dan prosedur, lingkup materi dan evaluasi. Program intervensi ini lazimnya dikemas dalam bentuk program pembelajaran individual (Individualized Educational program).

Daftar Rujukan :
Alimin, Zaenal (2008) Pemahaman Konsep Pendidikan Kebutuhan Khusus dan Anak Berkebutuhan Khusus.
    Perkembangan sejarah pendidikan bagi anak penyandang cacat, yang secara resmi disebut pendidikan luar biasa (PLB), selama beberapa dekade yang lalu telah mengalami banyak perubahan. Perubahan-perubahan itu terjadi dalam hal kesadaran dan sikap masyarakat terhadap anak penyandang cacat dan pendidikannya, metodologi dan perubahan konsep yang digunakan.
Sejarah menunjukkan pula bahwa selama berabad-abad di semua negara di dunia, individu yang berbeda dari kebanyakan individu lainya selalu ditolak kehadirannya oleh masayrakat. Hal ini disebabkan oleh adanya anggapan bahwa anggota kelompok yang terlalu lemah (penyandang cacat) tidak mungkin dapat berkontribusi terhadap kelompoknya. Mereka yang berbeda karena menyandang kecacatan, disingkirkan, tidak memperoleh sentuhan kasih sayang dan kontak sosial yang bermakna. Keberadaan penyandang cacat tidak diakui oleh masyarakatnya.
     Ketidaktahuan orang tua dan masyarakat pada masa lalu, mengenai hakekat dan penyebab kecacatan dapat menimbulkan rasa takut, sehingga berkembang macam-macam kepercayaan dan tahayul, misalnya seorang ibu yang melahirkan anak penyandang cacat merupakan hukuman baginya atas dosa-dosa nenek moyangnya. Oleh sebab itu di masa lampau anak-anak penyandang cacat sering disembunyikan oleh orang tuanya, sebab memiliki anak penyandang cacat merupakan aib keluarga.
Peradaban manusia terus berkembang, pemahaman dan pengetahuan baru mengajarkan kepada manusia bahwa setiap orang memiliki hak yang sama untuk hidup. Pandangan seperti inilah yang berhasil menyelamatkan kehidupan anak-anak penyandang cacat. Menyelamatkan hidup anak-anak penyandang cacat menjadi penting karena dipandang sebagai simbol dari sebuah peradaban yang lebih maju dari suatu bangsa, meskipun anak penyandang cacat membutuhkan bantuan ekstra (Miriam, 2001). Pandangan masyarakat dan orang tua yang menganggap bahwa memelihara dan membesarkan anak merupakan investasi agar kelak anak dapat membalas jasa orang tuanya, menjadi tidak dominan.
      Anak penyandang cacat mulai diakui keberadaannya, dan oleh sebab itu mulai berdiri sekolah-sekolah khusus, rumah-rumah perawatan dan panti sosial yang secara khusus mendidik dan merawat anak-anak penyandang cacat. Mereka yang menyandang kecacatan, dipandang memiliki karakteristik yang berbeda dari orang kebanyakan, sehingga dalam pendidikannya mereka memerlukan pendekatan dan metode yang khsusus pula sesuai dengan karakteristiknya. Oleh sebab itu, pendidikan anak penyandang cacat harus dipisahkan (di sekolah khusus) dari pendidikan anak lainnya.
Konsep pendidikan seperti inilah yang disebut dengan konsep Special Education, yang
melahirkan sistem pendidikan segregasi.
     Di Indonesia, sistem pendidikan segregasi sudah berlangsung selama satu abad lebih, sejak dimulainya pendidikan anak tunanetra pada tahun 1901 di Bandung. Konsep special education dan sistem pendidikan segregasi lebih melihat anak dari segi kecacatannya (labeling), sebagai dasar dalam memberikan layanan pendidikan. Oleh karena itu terjadi dikotomi antaran pendidikan khusus (PLB) dengan pendidikan reguler. Pendidikian khusus dan pendidikan regular dianggap dua hal yang sama sekali berbeda.
     Dilihat dari sudut pandang, pedagogis, psikologis dan filosofis, sistem pendidikan segregasi, mengandung beberapa kelemahan dan tidak menguntungkan baik bagi individu penyandang cacat itu sendiri maupun bagi masyarakat pada umumnya. Secara pedagogis, sistem pendidikan segregasi mengabaikan eksistensi anak sebagai individu yang unik dan holistik, sementara itu kecacatan anak lebih ditonjolkan. Secara psikologis, sistem segregasi, kurang memperhatikan kebutuhan dan perbedaan individual. Ada kesan menyeragamkan layanan pendidikan anak berdasarkan kecacatan yang disandangnya. Secara filosofis sistem pendidikan segregasi menciptakan dikotomi masyarakat eklusif normal dan tidak normal. Padahal sesunguhnya secara filosofis, penyandang cacat merupakan bagian dari masyarakat yang alami (David Smith, 1995).
     Konsep dan pemahaman terhadap pendidikan anak penyandang cacat terus berkembang, sejalan dengan dinamika kehidupan masyarakat. Pemikiran yang berkembang saat ini, melihat persoalan pendidikan anak penyandang cacat dari sudut pandang yang lebih bersifat humanis, holistik, perbedaan individu dan kebutuhan anak menjadi pusat perhatian. Dengan demikian layanan pendidikan tidak lagi didasarkan atas label kecacatan anak, akan tetapi didasarkan pada hambatan belajar dan kebutuhan setiap individu anak. Oleh karena itu layanan pendidikan anak penyandang cacat tidak harus di sekolah khusus, tetapi bisa dilayani di sekolah regular terdekat dimana anak itu berada. Cara berpikir seperti ini dilandasi oleh konsep Special needs education, yang antara lain melatarbelakangi munculnya gagasan pendidikan inklusif (UNESCO, 1994).
     Dalam konsep special needs education, sangat dihindari penggunaan label kecacatan, akan tetapi lebih menonjolkan anak sebagai individu yang memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Sejalan dengan perubahan cara berpikir seperti digambarkan di atas, maka Anak Luar Biasa (Exceptional Children) tidak lagi dipandang dari kategori kecacatannya akan tetapi harus dilihat dari hambatan belajar yang dialami dan kebutuhan-kebutuhan akan layanan pendidikannya. Oleh karena itu anak luar biasa menjadi bagian dari Anak Berkebutuhan Khusus (Children with Special Needs). Dengan kata lain Anak berkebutuhan khusus bukan pengganti istilah anak luar biasa. Layanan pendidikan bagi semua anak berkebutuhan khusus, termasuk anak luar biasa adalah Pendidikan Kebutuhan Khusus (Special Needs Education).

Daftar Rujukan
Alimin, Zaenal(2008), Pemahaman Konsep Pendidikan Kebutuhan Khusus dan Anak Berkebutuhan Khusus