1.
Pengertian Anak berkebutuhan Khusus
Pendidikan adalah hak
seluruh warga negara tanpa membedakan asal-usul, status sosial ekonomi,
maupun keadaan fisik seseorang, termasuk anak-anak yang mempunyai kelainan
sebagaimana di amanatkan dalam UUD 1945 pasal 31. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, hak anak untuk memperoleh pendidikan
dijamin penuh tanpa adanya diskriminasi termasuk anak-anak yang mempunyai
kelainan atau anak yang berkebutuhan khusus. Banyak istilah
yang dipergunakan sebagai variasi dari kebutuhan khusus, seperti disability,
impairment, dan Handicap.
Heward mendefinisikan
Anak Berkebutuhan Khusus adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda
dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada ketidakmampuan mental,
emosi atau fisik http://id.wikipedia.org/wiki/Anak_berkebutuhan_khusus.
Sedangkan menurut
Zaenal Alimin dalam http://z-alimin. blogspot.com /2009/02/ penyandang- ketunaan- istilah-pengganti.html, Mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan anak
berkebutuhan khusus adalah:
Anak
yang secara pendidikan memerlukan layanan yang spesifik yang berbeda dengan
anak-anak pada umumnya. Anak berkebutuhan khusus ini memiliki apa yang disebut
dengan hambatan belajar dan hambatan perkembangan (barier to learning and development). Oleh sebab itu mereka
memerlukan layanan pendidikan yang sesuai dengan hambatan belajar dan hambatan
perkembang yang dialami oleh masing-masing anak
2.
Jenis dan Karakteristik Anak berkebutuhan Khusus
Terdapat banyak jenis
anak yang berkelainan atau cacat yang memerlukan layanan khusus, dari anak yang
tergolong gangguan fisik dengan jenis kelaianan cacat sejak kecil (konginental deformity), berbagai jenis
cerebral palsy seperti jenis tremor, spastic, athetoid, ataxia dan lain
sebagainya.
Anak dengan gangguan
sensorik meliputi anak yang mengalami gangguan pendengaran dan kerusakan
penglihatan. Sedangkan anak dengan gangguan mental adalah anak tunagrahita.
Setiap jenis anak
memiliki ciri-ciri dan karakteristik masing-masing, begitu pula dengan anak
berkebutuhan khusus, mereka memiliki ciri-ciri dan kekhasan tersendiri
tergantung dari jenis kelainannya dan berat ringannya gangguan atau hambatan
yang dialaminya.
Karakteristik anak
berkebutuhan khusus berdasarkan jenis hambatannya, diantaranya :
a.
Karakteristik anak
yang memiliki hambatan mental
Ellah mengemukakan (2005:24) bahwa anak yang
memiliki hambatan mental ada dua kriteria, yakni anak yang memiliki
penyimpangan intelektual subnormal di bawah rata-rata normal dan anak yang
memiliki intelektual luar biasa tinggi (Intellectually
superior).
Anak yang memiliki hambatan mental memiliki
karakteristik yang berbeda antara anak yang memiliki penyimpangan intelektual
subnormal di bawah rata-rata normal atau Tunagrahita dengan anak yang memiliki
intelektual luar biasa tinggi atau sering disebut dengan anak berbakat.
Brown
et al (http:/ /www. ditplb. or. id /profile. php?id =45) mengemukakan bahwa karakteristik anak
tunagrahita antara lain:
a.
lamban dalam mempelajari hal-hal yang
baru, mempunyai kesulitan dalam mempelajari pengetahuan abstrak atau yang
berkaitan, dan selalu cepat lupa apa yang dia pelajari tanpa latihan yang terus
menerus.
b.
Kesulitan dalam menggeneralisasi dan
mempelajari hal-hal yang baru.
c.
Kemampuan bicaranya sangat kurang bagi
anak tunagrahita berat.
d.
Cacat fisik dan perkembangan gerak.
Kebanyakan anak denga tunagrahita berat mempunyai ketebatasab dalam gerak
fisik, ada yang tidak dapat berjalan, tidak dapat berdiri atau bangun tanpa
bantuan. Mereka lambat dalam mengerjakan tugas-tugas yang sangatsederhana,
sulit menjangkau sesuatu , dan mendongakkan kepala.
e.
Kurang dalam kemampuan menolong diri
sendiri. Sebagian dari anak tunagrahita berat sangat sulit untuk mengurus diri
sendiri, seperti: berpakaian, makan, dan mengurus kebersihan diri. Mereka
selalu memerlukan latihan khusus untuk mempelajari kemampuan dasar.
f.
Tingkah laku dan interaksi yang tidak
lazim. Anak tunagrahta ringan dapat bermain bersama dengan anak reguler, tetapi
anak yang mempunyai tunagrahita berat tidak meakukan hal tersebut. Hal itu
mungkin disebabkan kesulitan bagi anak tunagrahita dalam memberikan perhatian
terhadap lawan main.
g.
Tingkah laku kurang wajar yang terus
menerus. Banyak anak tunagrahita berat bertingkah laku tanpa tujuan yang jelas.
Kegiatan mereka seperti ritual, misalnya: memutar - mutar jari di depan
wajahnya dan melakukan hal-hal yang membahayakan diri sendiri, misalnya:
menggigit diri sendiri, membentur-beturkan kepala, dll.
Berbeda dengan anak tunagrahita
anak yang memiliki intelektual luar biasa atau berbakat memiliki karakteristik
tersendiri seperti yang di ungkapkan oleh Taft dan Gelchrist (Ellah,2005:25)
bahwa karakteristik anak berbakat diantaranya:
a)
Memiliki rasa ingin tahu yang besar
b)
Cenderung mengerjakan sesuatu dengan
cara mereka sendiri
c)
Lebih menyukai kerja sendiri
d)
Senang bereksperimen tentang apa saja
e)
Aktif berimajenasi
f)
Mampu berfikir dan banyak cara untuk
mencapai tujuan atau untuk memecahkan masalah
g)
Cenderung merespon atau bereaksi dengan cara yang
tidak dapat diduga-duga
h)
Mampu menghasilkan ide-ide orsinil
i)
Sangat berani mengambil resiko
j)
Memiliki sensitivitas terhadap keindahan
k)
Memiliki ketajaman atau rasa humor yang
tinggi
l)
Kurang tertarik pada detail
m) Kurang
perhatian terhadap adaptasi sosial.
Pernyataan di atas
merupakan salah satu karakteristik dari anak yang memiliki hambatan mental baik
yang di atas rata-rata maupun di bawah rata-rata.
b.
Karakteristik anak
dengan hambatan sensorik
Anak yang mengalami hambatan sensorik ini ada
dua jenis kerusakan sensorik, yakni anak dengan kerusakan penglihatan (visualization impairment) dan anak yang
mengalami kerusakan pendengaran (auditori
impairment).
Anak yang memiliki hambatan penglihatan atau
tunanetra disefinisikan oleh Scholl sebagai berikut: “Anak
yang rusak penglihatannya yang walaupun dibantu dengan perbaikan, masih
mempunyai pengaruh yang merugikan bagi anak yang yang bersangkutan” (http://meilanikasim.wordpress.com /2009/05/27/anak-berkebutuhan khusus/).
Anak
tunanetra memiliki karakteristik secara psikis, fisik, sosial maupun
intelektual. Lowenfeld dalam Djadja Rahardja (http://www.dj-rahardja.blogspot.com/2008) menggambarkan dampak
kebutaan dan low vision terhadap perkembangan kognitif, dengan mengidentifikasi
keterbatasan yang mendasar pada anak dalam tiga area berikut ini:
1)
Tingkat dan
keanekaragaman pengalaman. Ketika
seorang anak mengalami ketunanetraan, maka pengalaman harus diperoleh dengan
mempergunakan indera-indera yang masih berfungsi, khususnya perabaan dan
pendengaran. Tetapi bagaimanapun indera-indera tersebut tidak dapat secara
cepat dan menyeluruh dalam memperoleh informasi, misalnya ukuran, warna, dan
hubungan ruang yang sebenarnya bisa diperoleh dengan segera melalui
penglihatan. Tidak seperti halnya penglihatan, ketika mengeksplorasi benda
dengan perabaan merupakan proses dari bagian ke kesuluruhan, dan orang tersebut
harus melakukan kontak dengan bendanya selama dia melakukan eksplorasi
tersebut. Beberapa benda mungkin terlalu jauh (misalnya bintang, dan
sebagainya), terlalu besar (misalnya gunung, dan sebagainya), terlalu rapuh
(misalnya binatang kecil, dan sebagainya), atau membahayakan (misalnya api, dan
sebagainya) untuk diteliti dengan perabaan.
2)
Kemampuan untuk
berpindah tempat. Penglihatan
memungkinkan kita untuk bergerak dengan leluasa dalam suatu lingkungan, tetapi
tunanetra mempunyai keterbatasan dalam melakukan gerakan tersebut. Keterbatasan
tersebut mengakibatkan keterbatasan dalam memperoleh pengalaman dan juga
berpengaruh pada hubungan sosial. Tidak seperti anak-anak yang lainnya, anak
tunanetra harus belajar cara berjalan dengan aman dan efisien dalam suatu
lingkungan dengan berbagai keterampilan orientasi dan mobilitas.
3)
Interaksi dengan
lingkungan. Jika anda berada di suatu
tempat yang ramai, anda dengan segera bisa melihat ruangan dimana anda berada,
melihat orang-orang disekitar, dan anda bisa dengan bebas bergerak di
lingkungan tersebut. Orang tunanetra tidak memiliki kontrol seperti itu. Bahkan
dengan keterampilan mobilitas yang dimilikinya, gambaran tentang lingkungan
masih tetap tidak utuh.
Karakteristik anak yang mengalami
hambatan pendengaran (Auditori Impairment)
menurut Telford dan Sawrey dalam Ellah (2005:29) antara lain:
1)
Ketidakmampuan memusatkan perhatian yang
sifatnya kronis
2)
Kegagalan merespon jika diajak berbicara
3)
Terlambat berbicara atau melakukan
kesalahan artikulasi.
4)
Mengalami keterbelakangan di sekolah.
Menurut Direktorat pendidikan Luar
Biasa (http://www.ditplb.
or.id/profile.php?id=44
2006) bahwa karakteristik anak yang
mengalami hambatan pendengaran diantaranya:
1)
Kemampuan verbal
(verbal IQ) anak tunarungu lebih rendah dibandingkan kemampuan verbal anak
mendengar.
2)
Namun
performance IQ anak tunarungu sama dengan anak mendengar.
3)
Daya ingat
jangka pendek anak tunarungu lebih rendah daripada anak mendengar terutama pada
informasi yang bersifat suksesif/berurutan.
4)
Namun pada
informasi serempak antara anak tunarungu dan anak mendengar tidak ada
perbedaan.
5)
Daya ingat
jangka panjang hampir tak ada perbedaan, walaupun prestasi akhir biasanya tetap
lebih rendah
c.
Karakteristik anak
yang mengalami hambatan neuromotor atau fisik
Anak yang mengalami
hambatan neuromotor atau fisik adalah mereka yang mengalami hambatan dalam
gerak atau fisik yang disebabkan oleh gangguan neurologis, bawaan, infeksi dan
faktor kelainan di otak.
Hambatan neuromotor
jelas terlihat ketika anak bergerak, berjalan, dan melakukan kegiatan
sehari-hari. Misalnya dalam kegiatan belajar menulis, olahraga, menari, ataupun
kegiatan keterampilan dan lain sebagainya. Sehingga memerlukan pendekatan khusus dalam pembelajaran yang diberikan
kepadanya.
Untuk itu kita selaku
guru harus mengenal ciri-ciri atau karakteristik dari anak ini, agar
pembelajaran yang diberikan sesuai dengan kebutuhan yang diperlukannya.
Karakteristik anak yang mengalami hambatan neuromotor atau fisik menurut Sri
widati dalam Ellah (2005:30) adalah sebagai berikut:
1)
Adanya gangguan
motorik yang berupa kekakuan, kelumpuhan, gerakan-gerakan yang tidak dapat
dikendalikan, gerakan ritmis, dan gangguan keseimbangan.
2)
Adanya gangguan
sensoris, yaitu kelainan penglihatan, pendengaran dan kemampuan kesan gerak dan
raba.
3)
Tingkat kecerdasan
yang bervariasi. Sekitar 45 % mengalami keterbelakangan mental, dan 35 %
mempunyai tingkat kecerdasan normal serta di atas rata-rata. Tidak ditemukan
hubungan secara langsung tingkat kelainan fisik dengan kecerdasan anak.
4)
Mengalami gangguan
atau keterbatasan dalam kemampuan kognisi, yang meliputi pengenalan, pemahaman,
penghayatan dan interpretasi terhadap informasi lingkungan.
5)
Mengalami gangguan
bicara yang disebabkan oleh kelainan motorik otot-otot bicara, kurang dan tidak
terjadinya proses interaksi dengan lingkungan, serta kerusakan pada area
tertentu di dalam otak yang berfungsi sebagai pusat bicara sehingga
mempengaruhi proses bicara.
6)
Mengalami kelainan
emosi dan penyesuaian sosial.
d.
Karakteristik
anak yang mengalami hambatan perilaku sosial
Anak yang mengalami hambatan emosi
dan sosial adalah anak yang mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri dan
bertingkah laku tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat
pada umumnya, sehingga mempengaruhi kegiatan pendidikannya dan memerlukan
pelayanan pendidikan khusus.
Karakteristik
anak yang mengalami hambatan emosi dan sosial menurut The Individual with
Disabilities Education Act (IDEA) antara lain:
1)
Hiperaktif (rentang perhatian pendek, impulsif);
2)
Agresi / perilaku yang merugikan diri sendiri (bertindak
keluar, berkelahi);
3) Penarikan (kegagalan untuk memulai interaksi dengan orang
lain; mundur dari pertukaran interaksi sosial, rasa takut atau kecemasan yang
berlebihan);
4)
Ketidakdewasaan (tidak pantas menangis, marah-marah,
mengatasi miskin keterampilan); dan Kesulitan belajar (performa akademis tingkat kelas bawah). (http://www.parentpals.com/gossamer/ pages /Detailed /685.html:2001)
Sedangkan menurut Direktorat
pendidikan luar biasa (http://www .ditplb.or .id/profile. php?id= 47:2006) bahwa karakterisitik anak yang memiliki hambatan
perilaku dan sosial antara lain:
1.
Bersikap membangkang,
2.
Mudah terangsang
emosinya,
3.
Sering melakukan
tindakan aggresif,
4.
Sering bertindak
melanggar norma sosial/norma susila/hukum.
e.
Karakteristik anak yang mengalami hambatan
komunikasi
Istilah gangguan komunikasi
meliputi berbagai masalah dalam bahasa, ucapan, dan pendengaran. Seperti
yang dikemukakan oleh National Dissemination Center for Children
with Disabilities dalam http:// www. Childdevelopment info. com/ disorders/ children with communication disorders.shtml:2009 bahwa:
Gangguan bicara dan bahasa termasuk masalah artikulasi,
gangguan suara, masalah kelancaran (seperti gagap), aphasia (kesulitan dalam
menggunakan kata-kata, biasanya akibat cedera otak), dan keterlambatan dalam
berbicara dan atau bahasa. Keterlambatan bicara dan
bahasa mungkin disebabkan oleh banyak faktor, termasuk faktor-faktor lingkungan
atau gangguan pendengaran
Berdasarkan pengertian di atas gangguan pendengaran
merupakan salah satu penyebab dari gangguan komunikasi ini karena komunikasi
akan berjalan apabila adanya hubungan timbal balik antara komunikator dan
komunikan. Gangguan pendengaran meliputi pendengaran dan ketulian. Tuli dapat didefinisikan
sebagai hilangnya pendengaran yang dapat menyulitkan
komunikasi.
Seorang anak yang mengalami
hambatan komunikasi memiliki
berbagai karakteristik. Menurut National
Dissemination Center for Children with Disabilities (http://www.child development info .com /disorders /children with communication disorders.shtml:2009) karakteristik
anak yang mengalami hambatan komunikasi antara lain: “ketidakmampuan untuk mengikuti petunjuk,
lambat dan tidak dapat dipahami saat pidato,
dan kesulitan dalam pengucapan sintaks dan artikulasi”
Selain itu menurut Ellah (2005:33)
mengungkapkan bahwa “karakteristik anak yang mengalami gangguan komunikasi
berkisar pada kemampuan berfikir, bernalar masalah-masalah sosial-emosional
(psikis) dan komunikasi”
0 komentar:
Posting Komentar