Perkembangan sejarah pendidikan bagi anak penyandang cacat,
yang secara resmi disebut pendidikan luar biasa (PLB), selama beberapa dekade
yang lalu telah mengalami banyak perubahan. Perubahan-perubahan itu terjadi dalam
hal kesadaran dan sikap masyarakat terhadap anak penyandang cacat dan
pendidikannya, metodologi dan perubahan konsep yang digunakan.
Sejarah menunjukkan pula bahwa selama berabad-abad di semua negara di dunia, individu yang berbeda dari kebanyakan individu lainya selalu ditolak kehadirannya oleh masayrakat. Hal ini disebabkan oleh adanya anggapan bahwa anggota kelompok yang terlalu lemah (penyandang cacat) tidak mungkin dapat berkontribusi terhadap kelompoknya. Mereka yang berbeda karena menyandang kecacatan, disingkirkan, tidak memperoleh sentuhan kasih sayang dan kontak sosial yang bermakna. Keberadaan penyandang cacat tidak diakui oleh masyarakatnya.
Ketidaktahuan orang tua dan masyarakat pada masa lalu, mengenai hakekat dan penyebab kecacatan dapat menimbulkan rasa takut, sehingga berkembang macam-macam kepercayaan dan tahayul, misalnya seorang ibu yang melahirkan anak penyandang cacat merupakan hukuman baginya atas dosa-dosa nenek moyangnya. Oleh sebab itu di masa lampau anak-anak penyandang cacat sering disembunyikan oleh orang tuanya, sebab memiliki anak penyandang cacat merupakan aib keluarga.
Peradaban manusia terus berkembang, pemahaman dan pengetahuan baru mengajarkan kepada manusia bahwa setiap orang memiliki hak yang sama untuk hidup. Pandangan seperti inilah yang berhasil menyelamatkan kehidupan anak-anak penyandang cacat. Menyelamatkan hidup anak-anak penyandang cacat menjadi penting karena dipandang sebagai simbol dari sebuah peradaban yang lebih maju dari suatu bangsa, meskipun anak penyandang cacat membutuhkan bantuan ekstra (Miriam, 2001). Pandangan masyarakat dan orang tua yang menganggap bahwa memelihara dan membesarkan anak merupakan investasi agar kelak anak dapat membalas jasa orang tuanya, menjadi tidak dominan.
Anak penyandang cacat mulai diakui keberadaannya, dan oleh sebab itu mulai berdiri sekolah-sekolah khusus, rumah-rumah perawatan dan panti sosial yang secara khusus mendidik dan merawat anak-anak penyandang cacat. Mereka yang menyandang kecacatan, dipandang memiliki karakteristik yang berbeda dari orang kebanyakan, sehingga dalam pendidikannya mereka memerlukan pendekatan dan metode yang khsusus pula sesuai dengan karakteristiknya. Oleh sebab itu, pendidikan anak penyandang cacat harus dipisahkan (di sekolah khusus) dari pendidikan anak lainnya.
Konsep pendidikan seperti inilah yang disebut dengan konsep Special Education, yang
melahirkan sistem pendidikan segregasi.
Di Indonesia, sistem pendidikan segregasi sudah berlangsung selama satu abad lebih, sejak dimulainya pendidikan anak tunanetra pada tahun 1901 di Bandung. Konsep special education dan sistem pendidikan segregasi lebih melihat anak dari segi kecacatannya (labeling), sebagai dasar dalam memberikan layanan pendidikan. Oleh karena itu terjadi dikotomi antaran pendidikan khusus (PLB) dengan pendidikan reguler. Pendidikian khusus dan pendidikan regular dianggap dua hal yang sama sekali berbeda.
Dilihat dari sudut pandang, pedagogis, psikologis dan filosofis, sistem pendidikan segregasi, mengandung beberapa kelemahan dan tidak menguntungkan baik bagi individu penyandang cacat itu sendiri maupun bagi masyarakat pada umumnya. Secara pedagogis, sistem pendidikan segregasi mengabaikan eksistensi anak sebagai individu yang unik dan holistik, sementara itu kecacatan anak lebih ditonjolkan. Secara psikologis, sistem segregasi, kurang memperhatikan kebutuhan dan perbedaan individual. Ada kesan menyeragamkan layanan pendidikan anak berdasarkan kecacatan yang disandangnya. Secara filosofis sistem pendidikan segregasi menciptakan dikotomi masyarakat eklusif normal dan tidak normal. Padahal sesunguhnya secara filosofis, penyandang cacat merupakan bagian dari masyarakat yang alami (David Smith, 1995).
Konsep dan pemahaman terhadap pendidikan anak penyandang cacat terus berkembang, sejalan dengan dinamika kehidupan masyarakat. Pemikiran yang berkembang saat ini, melihat persoalan pendidikan anak penyandang cacat dari sudut pandang yang lebih bersifat humanis, holistik, perbedaan individu dan kebutuhan anak menjadi pusat perhatian. Dengan demikian layanan pendidikan tidak lagi didasarkan atas label kecacatan anak, akan tetapi didasarkan pada hambatan belajar dan kebutuhan setiap individu anak. Oleh karena itu layanan pendidikan anak penyandang cacat tidak harus di sekolah khusus, tetapi bisa dilayani di sekolah regular terdekat dimana anak itu berada. Cara berpikir seperti ini dilandasi oleh konsep Special needs education, yang antara lain melatarbelakangi munculnya gagasan pendidikan inklusif (UNESCO, 1994).
Dalam konsep special needs education, sangat dihindari penggunaan label kecacatan, akan tetapi lebih menonjolkan anak sebagai individu yang memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Sejalan dengan perubahan cara berpikir seperti digambarkan di atas, maka Anak Luar Biasa (Exceptional Children) tidak lagi dipandang dari kategori kecacatannya akan tetapi harus dilihat dari hambatan belajar yang dialami dan kebutuhan-kebutuhan akan layanan pendidikannya. Oleh karena itu anak luar biasa menjadi bagian dari Anak Berkebutuhan Khusus (Children with Special Needs). Dengan kata lain Anak berkebutuhan khusus bukan pengganti istilah anak luar biasa. Layanan pendidikan bagi semua anak berkebutuhan khusus, termasuk anak luar biasa adalah Pendidikan Kebutuhan Khusus (Special Needs Education).
Sejarah menunjukkan pula bahwa selama berabad-abad di semua negara di dunia, individu yang berbeda dari kebanyakan individu lainya selalu ditolak kehadirannya oleh masayrakat. Hal ini disebabkan oleh adanya anggapan bahwa anggota kelompok yang terlalu lemah (penyandang cacat) tidak mungkin dapat berkontribusi terhadap kelompoknya. Mereka yang berbeda karena menyandang kecacatan, disingkirkan, tidak memperoleh sentuhan kasih sayang dan kontak sosial yang bermakna. Keberadaan penyandang cacat tidak diakui oleh masyarakatnya.
Ketidaktahuan orang tua dan masyarakat pada masa lalu, mengenai hakekat dan penyebab kecacatan dapat menimbulkan rasa takut, sehingga berkembang macam-macam kepercayaan dan tahayul, misalnya seorang ibu yang melahirkan anak penyandang cacat merupakan hukuman baginya atas dosa-dosa nenek moyangnya. Oleh sebab itu di masa lampau anak-anak penyandang cacat sering disembunyikan oleh orang tuanya, sebab memiliki anak penyandang cacat merupakan aib keluarga.
Peradaban manusia terus berkembang, pemahaman dan pengetahuan baru mengajarkan kepada manusia bahwa setiap orang memiliki hak yang sama untuk hidup. Pandangan seperti inilah yang berhasil menyelamatkan kehidupan anak-anak penyandang cacat. Menyelamatkan hidup anak-anak penyandang cacat menjadi penting karena dipandang sebagai simbol dari sebuah peradaban yang lebih maju dari suatu bangsa, meskipun anak penyandang cacat membutuhkan bantuan ekstra (Miriam, 2001). Pandangan masyarakat dan orang tua yang menganggap bahwa memelihara dan membesarkan anak merupakan investasi agar kelak anak dapat membalas jasa orang tuanya, menjadi tidak dominan.
Anak penyandang cacat mulai diakui keberadaannya, dan oleh sebab itu mulai berdiri sekolah-sekolah khusus, rumah-rumah perawatan dan panti sosial yang secara khusus mendidik dan merawat anak-anak penyandang cacat. Mereka yang menyandang kecacatan, dipandang memiliki karakteristik yang berbeda dari orang kebanyakan, sehingga dalam pendidikannya mereka memerlukan pendekatan dan metode yang khsusus pula sesuai dengan karakteristiknya. Oleh sebab itu, pendidikan anak penyandang cacat harus dipisahkan (di sekolah khusus) dari pendidikan anak lainnya.
Konsep pendidikan seperti inilah yang disebut dengan konsep Special Education, yang
melahirkan sistem pendidikan segregasi.
Di Indonesia, sistem pendidikan segregasi sudah berlangsung selama satu abad lebih, sejak dimulainya pendidikan anak tunanetra pada tahun 1901 di Bandung. Konsep special education dan sistem pendidikan segregasi lebih melihat anak dari segi kecacatannya (labeling), sebagai dasar dalam memberikan layanan pendidikan. Oleh karena itu terjadi dikotomi antaran pendidikan khusus (PLB) dengan pendidikan reguler. Pendidikian khusus dan pendidikan regular dianggap dua hal yang sama sekali berbeda.
Dilihat dari sudut pandang, pedagogis, psikologis dan filosofis, sistem pendidikan segregasi, mengandung beberapa kelemahan dan tidak menguntungkan baik bagi individu penyandang cacat itu sendiri maupun bagi masyarakat pada umumnya. Secara pedagogis, sistem pendidikan segregasi mengabaikan eksistensi anak sebagai individu yang unik dan holistik, sementara itu kecacatan anak lebih ditonjolkan. Secara psikologis, sistem segregasi, kurang memperhatikan kebutuhan dan perbedaan individual. Ada kesan menyeragamkan layanan pendidikan anak berdasarkan kecacatan yang disandangnya. Secara filosofis sistem pendidikan segregasi menciptakan dikotomi masyarakat eklusif normal dan tidak normal. Padahal sesunguhnya secara filosofis, penyandang cacat merupakan bagian dari masyarakat yang alami (David Smith, 1995).
Konsep dan pemahaman terhadap pendidikan anak penyandang cacat terus berkembang, sejalan dengan dinamika kehidupan masyarakat. Pemikiran yang berkembang saat ini, melihat persoalan pendidikan anak penyandang cacat dari sudut pandang yang lebih bersifat humanis, holistik, perbedaan individu dan kebutuhan anak menjadi pusat perhatian. Dengan demikian layanan pendidikan tidak lagi didasarkan atas label kecacatan anak, akan tetapi didasarkan pada hambatan belajar dan kebutuhan setiap individu anak. Oleh karena itu layanan pendidikan anak penyandang cacat tidak harus di sekolah khusus, tetapi bisa dilayani di sekolah regular terdekat dimana anak itu berada. Cara berpikir seperti ini dilandasi oleh konsep Special needs education, yang antara lain melatarbelakangi munculnya gagasan pendidikan inklusif (UNESCO, 1994).
Dalam konsep special needs education, sangat dihindari penggunaan label kecacatan, akan tetapi lebih menonjolkan anak sebagai individu yang memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Sejalan dengan perubahan cara berpikir seperti digambarkan di atas, maka Anak Luar Biasa (Exceptional Children) tidak lagi dipandang dari kategori kecacatannya akan tetapi harus dilihat dari hambatan belajar yang dialami dan kebutuhan-kebutuhan akan layanan pendidikannya. Oleh karena itu anak luar biasa menjadi bagian dari Anak Berkebutuhan Khusus (Children with Special Needs). Dengan kata lain Anak berkebutuhan khusus bukan pengganti istilah anak luar biasa. Layanan pendidikan bagi semua anak berkebutuhan khusus, termasuk anak luar biasa adalah Pendidikan Kebutuhan Khusus (Special Needs Education).
Daftar Rujukan
Alimin, Zaenal(2008), Pemahaman Konsep Pendidikan Kebutuhan Khusus dan Anak Berkebutuhan Khusus
0 komentar:
Posting Komentar